Rabu, 17 Januari 2018

Apakah Filsafat Itu?

Orang mengatakan bahwa filsafat ‘tidak membuat roti’. Ucapan ini sepenuhnya benar. Filsafat tidak memberi petunjuk-petunjuk untuk mencapai taraf hidup yang lebih tinggi, juga tidak melukiskan teknik-teknik baru untuk membuat bom atom. Sebenarnya jika di dalam filsafat anda mencari jawaban yang terakhir terhadap persoalan yang anda hadapi, yakni jawaban yang disepakati oleh semua filsuf sebagai hal yang benar, maka anda akan kecewa dan bersedih hati. Setelah lama mempelajarinya, anda dapat mulai menyusun suatu sistem filsafat yang di dalamnya anda dapat menempatkan persoaln-persoalan yang anda hadapi dan memberikan jawaban-jawaban yang kiranya sah.
Anda pun juga menjadi terbiasa mengadakan penalaran-penalaran secara tetap, dan memurnikan pikiran-pikiran secara tetap pula, sehingga anda akan siap mendapati bahwa penyelesaian anda sering tidak memadai dan bersifat sementara, serta tidak diterima oleh banyak orang.
Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan tindakan. Meskipun filsafat ‘tidak membuat roti’, namun filsafat dapat menyiapkan tungkunya, menyisihkan noda-noda dari tepungnya, menambah jumlah bumbunya secara layak dan mengangkat roti itu dari tungku pada waktu yang tepat. Secara sederhana hal ini berarti bahwa tujuan filsafat adalah menumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, dan menertibkan serta mengatur semua itu di dalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak.
Saya akan memberikan gambaran dengan sebuah contoh klasik. Lama berselang pada tahun 399 SM, Socrates dihukum mati atas tuduhan merusak jiwa kaum muda di Athena. Ia harus mati dengan meminum racun pada suatu hari tertentu. Tetapi socrates mempunyai banyak teman kaya-raya yang mengambil keputusan bahwa, karena menurut hemat merekaSocrates dihukum secara salah, maka mereka akan membantunya untuk melarikan diri. Merekapun bersedia menyuap pengawal penjara dan membujuk Socrates agar melarikan diri.
Bagi manusia praktis, pastilah ia akan berkeinginan untuk meninggalkan penjara secepat mungkin.tetapi tidak demikian halnya dengan Socrates. Kepada kawan-kawannya ia berkata bahwa sebelum ia mau menerima tawaran mereka, perlu ditentukan terlebih dahulu apahak perbuatan melarikan diri itu layak baginya. Nah, inilah ucapan seorang filsuf. Ia duduk dengan teman-temannya untuk membicarakan masalah itu. Secara hati-hati diajukan alasan-alasan bagi pelarian dirinya. Dengan sikap hati-hati yang sama, Socrates meneliti alasan-alasan tersebut dan mengajukan alasan-alasan lain yang tidak menyetujui ia melarikan diri.
Akhirnya, teman-temannya sepakat bahwa tidaklah tepat bagi Socrates untuk melarikan diri. Pada saat itulah pembicaraan kefilsafatan berakhir. Socrates bertindak. Tindakannya didasarkan atas pemikirannya, tetapi tindakan itu tidak merupakan bagian dari pemikiran tersebut. Socrates tetap tinggal di penjara, dan ia pun . . . meminum racun.
Keinginan kefilsafatan ialah pemikiran secara ketat. Contoh diatas menunjukkan bahwa filsafat berbeda sama sekali dengan membuat roti. Filsafat merupakan suatu analisa secara hati-hati terhadap penalran-penalaran mengenai suatu masalah, dan penyusunan secara sengajaserta sistematis atas suatu sudut pandang yang menjadi dasar suatu tindakan. Dan hendaknya diingat bahwa kegiatan yang kita namakan kegiatan kefilsafatan itu sesungguhnya merupakan perenungan atau pemikiran.
Pemikiran jenis ini berupa meragukan segala sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan lainnya, menanyakan “mengapa”, mencari jawaban yang lebih baik dibandingkan dengan jawaban yang tersedia pada pandangan pertama. Filsafat sebagi perenungan mengusahakan ‘kejelasan’, ‘keruntutan’ dan ‘keadaan memadai’ dan ‘pemahaman’ tersebut?
Sejumlah makna khusus yang dikandung istilah ‘filsafat’. Sebelum mencoba menjelakan makna-makna yang dikandung istilah-istilah tadi, marilah kita tinjau beberapa pengertian lainyang dikandung filsafat. Pada suatu hari ketika mengunjungi seorang dokter, saya harus menunggu karena dokter tersebut sedang merawat pasien lain yang kehilangan penglihatan. Beberapa saat kemudian saya berkata pada dokter tadi, “Saya kira saya tidak akan dapat menjadi dokter yang baik, karena orang sakit membuat saya merasa sedih dan gundah.” Dokter itu tersenyum dan menjawab, “Sudahlah, anda ini seorang filsuf, seharusnya anda memandang segala sesuatu secara kefilsafatan.”
Ucapan ini mempunyai makna yang sama dengan apa yang dikandung oleh ucapan seseorang yang berkata, “Pandanglah nasib malang itu secara kefilsafatan.” Orang yang berbicara demikian itu memiliki maksud bahwa seharusnya anda tidak memprihatinkan sesuatu, malinkan terimalah sesuatu secara biasa. Dengan makna yang sama, orang sering mengatakan, “Seribu tahun yang akan datang, siapakah yang akan memperhatikan: apakah anda membaca atau tidak membaca halamn-halamn buku ini?” Dari sini ada tiga hal yang bisa ditunjukkannya:
  1. Sikap acuh tak acuh;
  2. Menekan perasaan;
  3. Ketiadaan sifat penting.

Seorang filsuf dianggap sebagai orang yang memandang segala sesuatu ‘dari sudut keabadian’, dan karenanya menemukan ketiadaan sifat pentingnya segala sesuatu; atau dianggap sebagai orang yang memandang manusia sebagai sesuatu yang tidak berarti, dan karenanya bersikap acuh tak acuh terhadap segala hal.
Maka ada gambaran bahwa seorang filsuf merupakan ‘mesin yang berpikir’ tanpa suatu perasaan apapun. Apa yang dilupakan ialah, bahwa mereka yang memandang seorang filsuf dalam hubungan yang demikian ini – dan karenanya memandang filsafat sebagai sesuatu yang membawa orang kepada sifat yang demikian itu – sesungguhnya tidaklah berbicara tentang filsafat, melainkan tentang filsafat yang khusus. Ada filsafat yang cenderung memuja akal. Ada sistem-sistem filsafat yang didasarkan pada pandangan yang mengutamakan kehendak. Dan dewasa ini ada sistem filsafat yang menegaskan bahwa pengetahuan yang mendalam dalam arti yang sebenarnya diperoleh melalui perasaan. Dengan cara yang sama, banyak filsuf memberikan tekanan pada ketiadaan sifat pentingnya manusia, tetapi para filsuf yang lain menegaskna tentang keunggulan manusia. Nanti kit akan berkenalan dengan penyelesaian-penyelesaian tersebut dan dapat melihat dimanakah letak kesalahan penyelesaian-penyelesaian tadi.
Filsafat merupakan pemikiran secara sistematis. Kegiatan kefilsafatan adalah merenung. Tetapi merenung bukanlah melamun, juga bukan berpikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan. Perenungan kefilsafatan ialah, percobaan ialah percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional, yang memadai untuk mamahami dunia tempat kita hidup, maupun untuk memahami diri kita sendiri. Perenungan kefilsafatan dapat merupakan karya karya satu orang yang dikerjakannya sendiri, ketika ia dengan pikirannya berusaha keras menemukan alasa dan penjelasan dengan cara semacam bertanya kepada diri sendiri. Atau perenungan itu dapat pula dilakukan oleh dua atau lebih dari dalam suatu percakapan ketika mereka melakukan analisa, melakukan kritik dan menghubungkan pikiran mereka secara timbal balik.
Biarpun sebagian besar sistem-sistem filsafat yang besar, misalnya sistem filsafat Aristoteles yang hidup pada abad IV SM atau sistem Hegel (1770-1831), merupakan karya-karya perseorangan, namun sistem-sistem tersebut menunjukkan adanya saling pertukaran yang ajek dengan pikiran serta kritik orang lain. Sesungguhnya tidak ada filsafat yang disusun dari ketiadaan dan tanpa hal-hal yang mendahuluinya yang telah dipelajarinya, dan oleh rekan-rekan semasa hidupnya yang mengajukan kritik terhadapnya. Sejumlah karya kefilsafatan yang besar tertulis sebagi dialog, yakni dalam bentuk percakapan di antara dua orang atau lebih \, yang memiliki penyelesaian-penyelesaian yang berupa alternatif, dan yang dengan pembicaraan secara rasional berusaha memperoleh kesimpulan yang memuaskan. Contoh-contoh karya semacam itu ialah dialog-dialog yang ditulis oleh Plato, sang tkoh abadi (427-347 SM), dan lama kemudian sejumlah karya filsuf Britania yang termasyhur, Uskup Berkeley (1685-1753).
Perenungan kefilsafatan ialah sejenis percakapan yang dilakukan dengan diri sendiri atau dengan orang lain. Itulah sebabnya, mengapa seorang filsuf tampak selalu berhubungan dengan polemik, dan tampak lebih menaruh perhatian kepada usaha merusak dan menentang dibandingkan dengan usaha membangun. Dalam arti tertentuperenungan kefilsafatan dapat dipandang sebagai pertentangan diantara alternatif-alternatif yang masing-masing berpegangan pada unsur atau segi yang penting dan kemudian mencoba untuk mengujinya pada pengalaman, kenyataan empirik, dan akal. Halini mudah ditunjukkan dalam masalah filsafat pengetahuan.
Ada yang berpendirian bahwa pengetahuan diperoleh hanya melalui pengalaman, dan ada yang berpendirian bahwa pengetahuan didapat hanya melalui akal. Yang terdahulu disebut ‘pengikut empiris’, yang terakhir dinamakan ‘pengikut rasionalisme’. Kedua pendirian ini dapat diuraikan sampai tercapai suatu sintetas. Soalnya ialah, uraian-uraian itu berusaha menyingkirkan kesalahan-kesalahan dan hal-hal yang tidak runtut, dengan maksud agar tercapai penyelesaian-penyelesaian yang lebih memadai.
Banyak filsuf sudah puas dengan sekedar mengejakan karya-karya rintisan bagi orang lain. Mereka sudah puas dengan menunjukkan kesalahan-kesalahan dan hal-hal yang tidak runtut, dan menyerahkan pekerjaan untuk menciptakan sistem-sitem, seperti Hegel, kepada orang lain. Sebenarnya, memang lebih mudah untuk bersikap destruktif secara kritis, ketimbang bersikap kenstruktif secara koheren.

Pengantar Filsafat (halaman 3-7)
Lousi A. Kattsoff
Penerjemah: Soejono Soemargono
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya

2004, Cet. IX

Kamis, 04 Januari 2018

Hubungan Politik dan Pendidikan

Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian yang tak terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal keduanya bahu-membahu dalam proses proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara. Lebih baik dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di negara tersebut.begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik itudi suatu negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan di negara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik di setiap negara. Hubungan tersebut adalah realitasemppiris yang telah terjadisejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuwan.
                Di dunia Islam, keterkaitan pendidikan dan politik terlihat jelas. Sejarah peradaban Islambanyak ditandai.selain karena faktor religius bahwa agama Islam sangat menjunjung aktifitas kependidikan, perhatian besar para pemimpin Islam terhadap masalah pendidikan didorong oleh besarnya peran lembaga-lembaga pendidikan dalam penyampaian misi-misi poliitik. Pendidikan sering dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideologi negara atau tulang yang menopang kerangka politik. Sjalabi mencatat bahwa Khalifah al-Makmun memolitisasi majelis munazharah di istananya dalam rangka menyebarkan paham Mu’tazilah yang merupakan mazhab resmi negara waktu itu. Puncak dari tindakan al-Makmun, menurut Sjalabi, adalah peristiwa inquisisi, yaitu penyelidikan atau interogasi (al-Mihna) terhadap para ulama dan pejabat penting. Kepada mereka ditnyakan apakah Al-Qur’an itu kadim atau hadits. (dikutip dalam Rsyid, 1994:16). Melalui inquisisi para ulama, pilar penopang lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan secara tidak langsung dipaksa menerima paham Mu’tazilah, ideologi resmi penguasa.
Pendidikan Islam tidak hanya berjasa menghasilkan para pejuang yang militan dalam memperluas peta politik, tetapi juga para ulama yang berhasil membangun masyarakat yang sadar hukum. Seiring dengan perluasan peta politik dan pertambahan pemeluk Islam, juga terjadi perkembangan (institusi) pendidikan dalam jumlah maupun varietasnya. Di dalam sejarah Islamtercatat bahwa pusat pendidikan yang petama kali muncul adalah rumah Arqam ibn Abi Arqam, yakni ketika nabi masih berada di  Makkah (Rasyid, 1994: 24). Selanjutnya pada masa Bani Umayah, lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut sudah lebih variatif dengan lahirnya Kuttab dan dijadikan rumah-rumah pembesar kerajaan sebagai tempat belajar.
Para penguasa Islam, Rasyid (1994: 33) menyimpulkan, senantiasa terlibat langsung dalam persoalan pendidikan. Menurutnya ada dua alasan utama mengapa para penguasa Muslim sangat peduli dengan pendidikan. Pertama, karena Islam adalah agama yang totaliter jam’i, mencakup semua aspek kehidupan seorang Muslim mulai dari makan dan minum, tata cara berumah tangga, urusan sosial kemasyarakatan, sampai pada ibadat semuanyadiatur oleh Syariat. Untuk mengetahui bagaimana hidup yang Islami, seorang muslim mesti terlibat dengan kegiatan pendidikan. Kedua, karena motivasi politik, sebab di dalam Islam antara politik dan agama sulit untuk dipisahkan. Para penguasa muslim sering menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk menanamkan paham-paham keagamaan. Inilah yang dilakukan Dinasti Buwaih, Fatimiyah, dan Khilafah al-Makmun. Dengan kekuasaan mereka menanamkan ideologi negara dengan tujuanlahirnya kesamaan ide antara penguasa dan masyarakat umum sehingga memudahkan pengaturan masalah-masalah kenegaraan.
Di negara-negara Barat, kajian tentang hubungan antara pendidikan dengan politik dimulai oleh Plato dalam bukunya Republic.walaupun utamanya membahasberbagai persoalan kenegaraan, buku tersebut juga membahas hubungan antara ideologi dan institusi negara dengan tujuan dan metode pendidikan. Berikut ini adalah kesan mendalam Allan Bloom (1987: 380) tentang Republic:
For me [republic is] the book on education, because it really enplains to me what I experience as a man and a teacher, and I have almost always used it to point out what we should not hope for, as a teaching of moderation and resignation.
Plato mendemonstrasikan dalam buku tersebut bahwa dalam budaya Helenik, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Ia menjelaskan bahwa setiap budaya mempertahankan kontrol atas pendidikan di tangan kelompok-kelompok eliteyang secara terus menerusmenguasai kekuasaan politik, ekonomi, agama, dan pendidikan. Plato menggambarkan danya hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan aktivitas politik. Keduanya seakang dua sisi satu koin, tidak mungkin terpisahkan. Walaupun sangat umum dan singkatanalisis Plato tersebut telah meletakkan fundamental bagi kajian hubungan politik dan pendidikan di kalangan generasi ilmuwan generasi berikutnya.
Dalam ungkapan Abernety dan Coombe (1965: 287), education and politics are inextricably linked (pendidikan dan politik terkait tanpa bisa dipisahkan). Menurut mereka (1965: 289), hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (unemployement), dan peranan politik  kaum cendikia (the political role of the intelligentsia). Kesempatan dan prestasi pendidikan pada suatu kelompok masyarakat, menurut mereka, dapat mempengaruhi akses kelompok tersebut dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Perbedaan signifikan anatarberbagai kelompok masyarakat yang disebabkan oleh perbedaan pendidikan dapat dilihat pada distribusi kekuasaan politik dan ekonomidan kesempatan kerja, khususnya pada sektor pelayanan publik. Di negara-negara pasca kolonial, kelompok masyarakata yang mendapat privilese pendidikan lebih mampumelaukan konsolidasi kekuatan, lalu muncul menjadi kelompok penguasa yang menguasai partai-partai politik dan sektor pelayanan publik. Privilese atau diskriminasi pendidikan bisa terjadi karena alasan-alasan budaya atau agama.
Diskriminasi seperti ini sangat nyatadalam kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Penulis mencatat beberapa karakteristik kebijakan pendidikan perintah kolonial Belanda: kolonialistik, intelektualistik, heterogen, diskriminastif, dan self-serving, diarahkan semata-mata untuk kepentingan kolonialisme. Kebijakan pendidikan tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat pada waktu itu, yaitu (1) menimbulkan konflik keagamaan antara kelompok Muslim dan kelompok non-Muslim; (2) menciptakan divisi sosial dan kesenjangan budaya antara kelompok minoritas angkatan muda Indonesia yang berasal dari kalangan kelas menengah keatas dan kelompok angkatan muda Indonesia yang berasal dari keluarga biasa; (3) menciptakan polarisasi sosial tanpa memperdulikan kemampuan kerja mereka; dan (4) menghambat perkembangan kaum pribumi (Sirozi 1998: 17-29). Pada masa awal kemerdekaan, kaum nasionalis dapat menguasai birokrasi dan sektor-sektor strategis.

POLITIK PENDIDIKAN (hal 1-9)
M. SIROZI, Ph.D.
Cetakan ke-3, Februari 2010

PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Rabu, 16 Maret 2016

Konsep Manusia Menurut Y.B. Mangun Wijaya: Manusia Pasca-Indonesia atau Pasca-nasional dan Pasca-Einstein



Konsep manusia yang dikembangkan Romo mangun tidak dapat dilepaskan dari perjalanan hidupnya, Romo mangun menemukan bahwa yang selalu menjadi korban oleh pihak yang yang lebih kuat dalam masa kemerdekaan maupun pembangunan adalah rakyat kecil, khusunya yang miskin, terlebih perempuan dan anak-anak. Dalam novel Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa Romo mangun menunjukkan bahwa rakyat kecil lah yang selalu menjadi tumbah dalam proses sejarah. Tokoh Oti dan Leomadara adalah sosok rakyat kecil atau ikan homa yang menjadi tumbal bagi ikan-ikan Ido yang lebih besar, yang kelak pada akhirnya ikan Ido pun akan disantap oleh ikan-ikan Hiu yang buas dan serakah. Inilah Darwinisme sosial tersebut, siap yang kuat dialah yang menang.
Y.B. Mangun Wijaya menghayati hidup dan seluruh karyanyasebagai karya kemanusiaan dalam arti yang luas. Sedangkan bentuk=bentuk karya spesifiktertentu yang digelutinya, khususnya sebagai pastor desa di Salam, kabupaten Magelang (dsawarsa tujuh puluhan), sebagai dosen luar biasa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UGM (1967-1980), arsitek independen (1967-1999), kolumnis berbagai koran dan majalah (1968-1999), novelis (1972-1999), pekerja sosial di tepi Kali Code, Yogyakarta, dan Grigak, Gunung Kidul (1980-1986), pendamping warga korban pembangunan Waduk Kedungombo, Jawa Tengah (1986-1994), dan pendamping anak-anak miskin terlantar dalam Yayasan dana Sayang Anak Derita (Dayang Arita) Santa Elisabeth di Mangunan (1995/6-1999), semua itu dihayatinya sebagai jalur-jalur operasional untuk mewujudkan karya pendidikannya pada berbagai dimensi kehidupan bangsa.
Menurut Mangunwijaya, konsep manusia yang ingin dikembangkannya adalah manusia yang humanis. Namun, pembentukan manusia yang humanis itu terbentur oleh budaya feodalisme yang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat indonesia. Untuk itu, ia menawarkan sebuah konsep manusia humanis yang terbebas dari belenggu-belenggu feodalisme, baik feodalisme khas Jawa maupun warisan politik kolonial. Romo Mangun menamakankonsep manusia humanis itu dengan istilah manusia Pasca-Indonesia atau Pasca-Nasional dan Pasca-Einstein.
Pasca-Indonesia atau Pasca-Nasional
Romo mangun menempatkan nation dan nasionalisme modern dalam konteks evolusi bangsa manusia. Secara garis besar perkembangan interaksi anatarmanusia di dalam kelompok dan di luar kelompok dapat dimulai dari bentuk komunal sangat sederhana dalam kerangka dusun yang tertutup, yang kemudian semakin terbukadalam fase-fase evolusi yang berakselerasi ke hubungan lokal atau regional. Sistem suku kemudian mengalami proses penghayatan yang lebih meluas lagi, pascasuku, yang semakin mengonsolidasi diri dalam kerajaan atau susunan feodalisme, yang variasinya berbentuk banyak, tetapi esensinya sama.
Menurut romo Mangun, kebudayaan pascasuku tumbuh dari perubahan ekspansi budaya, pemburu, nelayan, dan pengembara yang berevolusi ke budaya agraris yang menetap, dari kebupatian sampai ke kerajaan besar. Ekspresi feodal agraris itu disusul oleh struktur industri dan perdagangan inter-regional inter-benua dalam bentuk republik-republik kota regional maupun nasional. Kerajaan adalah ekspresi sekaligus insfrastruktur yang timbul selaku “keharusan perkara” (sachzwang) dari budaya agraris, sedangkan republik atau kerajaan konstistusional yang kini merupak bentuk yang dominan adalah ekspresi sekaligus infrastruktur dari budaya insdustri dengan sistem  perdagangannya yang khas.
Nasionalisme Indonesia di masa mendatang, menurut pandangan Romo Mangun, akan kembali berkembang ke akar-akarnya yang sejak awal mula dicita-citakan oleh Generasi 1928, yakni kembali ke alur hakikat semulanya yang murni, yakni pembelaan kawan manusia yang masih dijajah, yang masih miskin dalam segala hal.yang termasuk miskin kemerdekaan dan penentuan diri sendiri, menolong manusia yang tidak berdaya menghadapi para kuasa yang sewenang-wenang, yang telah merebut bumi hak pribadinya dan yang memaksakan kebudayaan serta seleranya kepada si kalah. Hanya bedanya dulu suasananya serba bendera nasional, jadi selalu menghadap ke lawan asing di luar. Sedangkan dalam kebudayaan pasca-Indonesia dalam konteks sekarang ini, lawannya adalah perlakuan-perlakuan yang dehumanis.
Sedangkan istilah Pasca-Nasionalisme atau Pasca-Indonesia harus dimengerti dalam konteks kesejarahannya. Kata pasca – menurut Romo Mangun, jauh lebih baik dan lebih bermakna daripada kata bahas inggris post. Romo Mangun mencontohkan bahwa kata post hanya menunjuk pada arti sesudah, belum menyatakan kontinuitas maupun diskontinuitas. Seorang pascasarjana bukan seseorang yang sesudah menjadi sarjana. Dia tetap sarjana, tetapi lebih luas pandangannya, lebih banyak dimensinya, lebih dalam visinya, dan lebih dewasa. Seperti kupu-kupu itu bukan post kepompong, tetapi lebih meningkat, lebih terbang walaupun identitasnya sama. Konsep Pasca-Nasional mencita-citakan sosok manusia Indonesia yang terbuka kepada nilai-nilai kemanusiaan universal, meskipun tetap tetap berpegang kepada nilai-nilai keindonesiaan.
Zaman Pasca-Nasional atau Pasca-Indonesia yang dilontarkan Romo mangun terjadi jika seluruh totalitas aktivitas serta galaksi pengentalan seluruh ikhtiar manusia untuk menjawab tantangan hidupnya, mengolahnya dan memberi makna kepadanya dipahami sebagai upaya menciptakan kebudayaan yang humanis.
Bagi Romo Mangun hidup adalah perjalanan evolusi raya dari geosfer atau pembentukan bumi, ke biosfer atau pembentukan organisme termasuk manusia, dan ke noosfer atau pembentukan lapisan kesadaran yang terus berlangsung hingga kini. Dalam evolusi noosferik sendiri manusia sedang mengalami emansipasi ke arah kesejatian kemanusiaannya semakin utuh, dari tahap kesadaran diri yang individualistik-hierarkik-eksploitatif ke arah kesadaran hidup bersama yang demokratik-egalitarian-adil, yang ditandai dengan terkikisnya dari muka bumi ini struktur-struktur yang buas menindas, digantikan oleh struktur-struktur yang beradab dan berkeadilan.
Menurut Romo Mangun, di bawah rezim Orde Baru, Indonesia mengalami kemajuan ekonomi yang pesat, namun dipandang dari perubahan struktur, Indonesia mengalami kemunduran. Berbeda dengan generasi angkatan Angkatan 1928 yang merupakan “manusia-manusia baru” yang mengalami pencerahan, berkat gagasan-gagasan sosialisme dan humanisme universal, para pemimpin Orde Baru tidak pernah mengalami pencerahan tersebut. Sebaliknya, mereka dibentuk oleh semangat “fasisme” dan “militerisme” selama pendudukan Jepang (1942-1945) yang membanggakan warisan nenek moyang. Di bawah Soeharto, Indonesia mundur di zaman pra Kebangkitan Nasional (1908), yakni berkuasanya struktur-struktur feodal, primordial, tradisional (dalam bentuk militerisme) dan (neo) kapitalisme-imperialisme-kolonialis (dalam bentuk modal-modal, bantuan-bantuan, pinjaman-pinjaman dari negara kaya).
Dalam novel simbolis Durga Umayi, Romo Mangun menunjukkan bahwa wajah generasi-generasi di republik ini bisa sewaktu-waktu bertukar wajah dari humanis (Umayi) menjadi dehumanis (Durga). Penguasaan Orde Baru berkhianat terhadap cita-cita luhur angkatan 1928, mengorbankan rakyat kecil yang semestinya dilindunginya.
Romo Mangun menganggap bahwa pendidikan masa Orde Baru tidak meghasilkan “manusia-manusia baru” sehingga permasalah bangsa Indonesia di bawah Orde Baru  sama dengan angkatan 1928. Untuk itu bagi Mangunwijaya, pendidikan harus ditempatkan dalam kerangka evolusi ini, yaitu upaya mengantar murid, bangsa, bahkan umat manusia ke arah pendewasaan diri: teremansipasi, merdeka, humanis dan sanggup bertanggungjawab sendiri. Proses pencarian identitas diri dan pendewasaan diri itu tidak boleh berhenti, harus bergerak evolutif, Romo Mangun Menunjukkan peziarah manusia yang mencari jadi diri itu dalam novelnya yang ditulis tahun 1981, Burung-Burung Manyar. Setadewa (Teto) dan Larasati (Atik) adalah dua manusia yang mencari identitas kemanusiaanya. Pencarian identitas yang harus berbenturan dengan rekayasa struktural yang membelenggu kemerdekaan jiwanya.
Pasca-Einstein
Perkembangan dunia melesat begitu cepat sehingga menimbulkan berbagai tantangan dalam kehidupan manusia. Perkembangan dunia yang demikian itu menuntut manusia harus peka zaman dan terbuka pada nilai-nilai yang baru. Apalagi sejak munculnya Albert Einstein (1879-1955) yang mengajarkan generasi muda tentang multidemensionalitas. Sehingga laporan-laporan pancaindera serta buah imajinasi sehari-hari, yang memberi basis pengamatan serta macam-macam penanganan operasional secara normal – artinya secara dimensi tiga, ternyata harus mengikuthitungkan dimensi keempatnya, yakni waktu. Bahkan boleh jadi ikut memperhitungkan dimensi-dimensi ke-5, ke-6, dan seterusnya. Akibatnya, sulitlah sekarang bagi manusia pasca-Einstein untuk menganut pemahaman tradisional. Dalam arti Romo Mangun, tidak ingin manusia berpikiran jalan rel atau aspal yang berpikir lurus-lurus saja atau manusia Bermatra Tunggal.
Menurut Romo Mangun, seluruh gambaran manusia tentang semseta rayamenjadi begitu relatif, begitu tergantung pada pengandaian lokasi dan waktu, situasi dan asumsi, sehingga banyak perkara sudah tidak sederhana lagi. Banyak pengertian yang begitu vital dan fundamental seperti mutlak, universal, norma, batas, materi, energi dan sebagainya, bahkan benar dan salah, menurut kodrat dan melawan kodrat, sesuai hukum alam dan tidak sesuai dengan hukum alam, dan sebagainya, yang begitu lama dan mendalam kita hayati serta kita jadikan bagi perilaku yang ideal dan yang seharusnya, menjadi kabur. Banyak perkara akan membutuhkan koreksi bahkan revisi dalam alam pikir dan cita rasa generasi baru yang sudah pasca-Einstein.
Istilah Pasca-Eintein – yang juga disebut manusia Bermatra Gatra, ini diolah Romo Mangun dari teori Relativitas Albert Einstein. Teori itu dilontarkan Einstein pada tahun 1905. Menurutnya, setiap hal (kecuali cahaya) melaju dengan kecepatan berbedatergantung situasi yang berbeda.
Melalui teori relativitas itu, Romo Mangun Melontarkan Konsep Pasca Einstein, yang mengajak segenap generasi muda untuk bersikap menurutdinamika relativitas, dengan tidak main mutlak-mutlakan, karena segala sesuatu bersifat relatif. Generasi muda harus meluaskan horizonnya dengan berpikir kreatif, eksploratif, inklusif, pluralistik. Hidup ini multidimensional (bermatra gatra). Jika satu jalan yang ditempuh gagal, orang wajib mencoba jalan lain. Artinya Romo Mangun ingin menunjukkan bahwa hidup ini penuh dengan kemungkinan. Menurut Romo Mangun konsep Pasca-Einstein itu ditandai juga dengan paradigma berpikir nggiwar (berpikir lateral/ latera thingking).
Sebenarnya antara konsep Pasca-Einstein dengan berpikir lateral/ nggiwar dapat dibedakan. Parbedaan tersebut adalah berpikir lateral menekankan bagaimana manusia menyelesaikan suatu masalah, sedangkan Pasca-Einstein atau bermatra-gatra menekankan manusia menanggapi suatu maslah.
Manusia Pasca-Einstein atau manusia Bermatra-Gatra, Menurut Romo Mangun sosoknya dapat ditemukan pada Generasi 1928 yang merupakan pencetus dan penggerak kemerdekaan Indonesia. Keberhasilan generasi 1928 bukan karena otot, melainkan karena intelegensi, kebijaksanaa, dan kemampuannya untuk berpikir lateral.
Bahwa pendidikan selalu bertolah dari humanisme kiranya bukan hal yang asing. Driyarkara mengatakan bahwa tujuan pendidikan dalah “pemanusiaan manusia”, melalui proses “humanisasi” dan “hominisasi”atau dengan risngkas disebut sebagai pendidikan humaniora. Demikian pun keyakinan Romo Mangun, “setiap sistem pendidikan ditentukan oleh filsafat tentang manusia dan citra manusianya yang dianut, sehingga tidak pernah netral”. Maka, visi seseorang tentang manusia, sangat menentukan visi pendidikannya dan berpengaruh dalam uraiannya; apakah ia penganut faham pesimis ataukah optimistis tentang masa depan manusia, apakah ia religius atau sekuler dan sebagainya. Oleh karena itu perlulah disini meulai dengan melihat visi kemanusiaan Romo Mangun, untuk sampai pada visi pendidikannya.
Faham kemanusiaan Romo Mangun boleh dikatakan tak terlepas dari faham religiositas. Religius disini tidak harus diartikan sebagai pemeluk agama tertentu, melainkan adanya kecenderungan dan kesadaran akan yang ilahi, yang mengatasi kekecilan manusia atau rasa kemakhlukan (creature-feeling), atau rasa ketergantungan (feeling of dependence) pada sesuatu yang lain. Dan dalam arti ini bisa diperdebatkan apakah seorang atheis (Tidak percaya akan Tuhan) mesti berlawanan dengan relgiositas, sebab bisa saja seorang religius, meskipun tidak beragama. Bagi Romo Mangun hal demikian tidak mustahi, karena sifat manusia yang religius itu. Isu yang menjadi keprihatinan Romo Mangun bukanlah soal dialog agama, atau pembicaraan tentang perbedaan ajaran agama-agama yang satu dengan yang lain, melainkan bagaimana mereka bekerja sama dalam berbagai macam bidang, dengan semangat kemanusiaan yang sama, merasakan keprihatinan yang sama sebagai manusia yang kecil.
Faham humanisme religius ini juga tampak dalam penghayatan Romo Mangun sebagai pastor, yang tidak konvensional. Panggilan imamatnya berakar dan diinspirasikan oleh daya tarik rakyat miskin, dan bukan panggilan kegerejaan/ keagamaan semata sebagaimana kebanyakan pastor. Ia ingin menjadi pastor, karena terharu pada partisipasi rakyat rakyat dalam perang gerilya, dan ia ingin “membayar utang kepada rakyat”. Mudah dipahami kalau dedikasinya sebagai pastor juga tidak terbatas pada pelayanan gerejani melainkan pada sosialitas umum, pembelaan kaum miskin, - hal ini disetujui oleh uskup sebagai atasannya. Lebih lanjut religiositas yang melebar ini ia tunjukkan dalam keinginannya untuk bekerjasama dalam agama lain.
Iman Kristennya, jabatan imamnya, hanyalah titik tolak, sedang tujuannya adalah kemanusiaan umum. Maka, baginya agama lain bukan menjadisaingan apalagi musush, melainkan teman kerja, kolega di dalam membangun kemanusiaa, khususnya dalam melayani rakyat yang miskin. Hal ini tampak misalnya dalam aksinya dalam membela masyarakat Kali Code atau Korban Waduk Kedungombo.
Mangunwijaya tidak memberikan uraian komprehensif tentang visi humanisme religius; ia tidak memaparkan secara khusus atau memberikan rumusan tentang visinya itu, tetapi hal itu dengan mudah bisa kita tangkapdari penghayatan hidupnya dan dari karangan-karangannya. Demikian pun pandangan dalam hal pendidikan yang mengarah pada persaingan dan mengangkat pendidikan, lebih bersifat visioner dan profetis, mengkritik pendidikan yang mengarah pada persaingan dan mengangkat pendidikan yang membangun kerjasama.
Dengan demikian, tugas pendidikan menurut Romo Mangun, adalah mengantar dan menolong anak untuk mengenal dan mengembangkan potensi-potensi dirinya agar menjadimanusia yang mandiri, dewasa, utuh, merdeka, bijaksana, humanis, dan mampu menjadi sosok Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein, sekaligus peduli dan solider pada sesama manusia. Bukan sekedar menjadi kepingan yang serba pasra kepada “mesin besar” yang tidak diketahui susunannya dan arahnya.
Dalam satu karangan yang panjang dalam majalah Basis (Januari-Februari, nomor 47, 1998) Romo Mangun mengutarakan gagasannya tentang pendidikan yang komprehensif, yang secara ringkas boleh dirumuskan, bahwa pendidikan itu bersifat multidimensional, berdimensi banyak. Pertama-tama harus dikatakan, (i) pendidikan haruslah terbuka ke arah masa depan, mencerahkan dan mengembangkan kebaruan, melawan status quo atau melawan reproduksi dan penerusan ide-ide lama, yang oleh Romo Mangun disebut sekedar “sosialisasi”, sebagaimana dianut kaum feodal dan Orde Baru. Bercermin dari angkatan 1928, (ii) pendidikan harus mencerdaskan kehidupan dengan memberi kebebasanpada para anak didik. Mereka bukan “tabula rasa” yang harus diisi dengan komando, pediktean, pendisiplinan top-down gaya militer. Romo Mangun banyak mengkritik gaya pemerintah yang bersifat penyeragaman, brainwashing, formal, dan birokratis, dan kurang memberi ruang bagi kreatifitas anak didik dan menekan kreatifitas, eksplorasi, penyadaran, dan pengaturan diri. Untuk itu (iii) perlu perbaikan sistem pendidikan, hubungan guru murid harus dipebaiki dalam situasi kekeluargaan dan hidup bersama (convivium), pola pendidikan haus memberi lebih banyak peluang untuk anak didik dalam mengungkapkan pengalaman mereka, membina kerjasama (dan bukan persaingan) dalam kelompok.
Sumber:
Forum Mangun Wijaya. 2015. Humanisme Y.B. Mangun Wijaya. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hal: 28-39

Rabu, 24 Februari 2016

Perbedaan Gender Melahirkan Ketidakadilan?



Perbedaan gender (gender differences) sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidak adilan gender (gender inqualities). Namun yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik dari kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Untuk memahami bagaimana perbedaan gender yang mengakibatkan ketidakadilan gender, dapat melalui berbagai manifestasi dari ketidakadilan yang ada. Ketidakadilan gender termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni: Marginalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam dalam keputusan politik, Stereotyping dan dikriminasi, pelebelan negatif, kekerasan (violence); Bekerja lebih panjang dan lebih banyak (double burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Sebagai manifestasi dari ketidakadilan gender proses dan bentuk dari ketidakadilan tersebut (magnilasisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan, kerja lebih keras dan lama, serta sosialisasi terhadap peran gender masing-masing). Manifestasi ketidakadilan gender tidak bisa dipisah-pisahkan, karena saling berkaitan dan berhubungan, saling mempengaruhi serta berdialektika. Tidak ada satu manifestasi dari ketidakadilan geder yang lebih penting, lebih esensial dari yang lain. Misalnya saja marginalisasi ekonomipada kaum perempuan justru terjadi kerana akibat dari stereotype tertentu atas kaum perempuan dan itu semua menyumbangkan pada subordinasi, kekerasan pada kaum perempuan yang akhirnya tersosialisasikan dalam keyakinan, ideologi dan visi kaum perempuan sendiri. Dengan demikian kita tidak bisa mengatakan bahwa marginalisasi kaum perempuan
Uraian berikut membahas secara lebih rinci masing-masing manifestasi dari ketidakadilan gender.
-          Gender dan Marginalisasi Perempuan
Proses marginalisasi, pemiskinan bagi kaum perempuan.  Sesungguhnya  terdapat dalam masyarakat dan negara yang membuahkan kemiskinan yang pada akhirnya juga menimpa kaum laki-laki, seperti misalnya proses eksploitasi. Namun ada salah satu bentuk pemiskinan suatu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan yang disebabkan oleh karena gender. Ada beberapa macam dan perbedaan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme proses marginalisasi kaum perempuan akibat dari perbedaan gender tersebut. Dari segi sumbernya bisa disebabkan dari kebijaksanaan pemerintah, keyakinan, tafsiran agam, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asusmsi pengetahuan.
Banyak studi telah dilakukan dalam rangka membahas program pembangunan pemerintah yang menjadi penyebab kemiskinan.Misalnya saja program swasembada pangan atau revolusi hijau (Green Revolution) telah menyingkirkan secara ekonomis sehingga memiskinkan kaum perempuan dari pekerjaan mereka. Di jawa misalnya, program revolusi hijau dengan memperkenalkan jenis padi unggulyang tumbuh lebih rendah, dan pendekatan panen dengan sistem tebang dengan menggunakan sabit, tidak memungkinkan lagi panenan dengan ani-ani, padahal alat tersebut melekat dan digunakan oleh kaumperempuan. Akibanya banyak kaum perempuan miskin di desa menjadi termarginalisasi, yakni semakin miskin dan tersingkir karena tidak mendapat pekerjaan di sawah pada musim panen. Berarti program revolusi hijau dirancang tanpa mempertimbangkan aspek gender.
Marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, namun pengaruhnya sampai di rumah tangga, di masyarakat atau kebudayaan dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga, dimana diskriminasi terjadi atas anggota keluarga yang lelaki dan perempuan. Proses tersebut mengakibatkan memiskinkan kaum perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat isti adat maupun tafsiran keagamaan. Misalnya saja banyak diantara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali. Sebagian tafsir agama memberikan hak setengah terhadap kaum perempuan.
-          Gender dan Subordinasi
Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Adanya anggapan bahwa [eremuan itu irasional, emosiaonal, maka ia tidak bisa memimpin dan oleh karena ituharus ditempatkan pada posisi yang tidak penting.
Bentuk-bentuk subordinasi terjadi dalam segala macam perbedaan dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di Jawa misalnya, dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi toh pada akhirnya akan ke dapur. Bahkan pemerintah pernah memiliki peraturan bahwa jika usami akan pergi belajar (jauh dari keluarga) dia bisa mengambil keputusan sendiri. Sementara bagi istri yang henda tugas belajar ke luar negeri harus seizin suami. Di rumah tangga masih sering kita dengar jika keuangan mereka sangat terbatas, dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anak mereka, maka lelaki akan medapat prioritas utama. Praktek seperti itulah yang sesungguhnya berangkat dari suatu kesadaran gender yang tidak adil.
-          Gender dan Stereotype
Setreottype yang terjadi dijadikan sebagai pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya strereotype selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Strereotype yang diberikan kepada suku bangsa tertentu, misalnya Yahudi, di Barat, Cina di Asia Tenggara telah merugikan suku bangsa tersebut. Salah satu jenis stereotype itu salah satunya bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap satu jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan yang bersumber pada label (stereotype) yang diberikan kepada mereka. Misalnya, label yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan sexual selalu dikaitkan dengan label ini. Bahkan pemerkosaan yang telah dialami oleh kaum perempuan kecenderungan masyarakat untuk meyalahkan korbannya. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotype ini berakibat layak sekali pendidikan kaum perempuan dinomorduakan. Stereotype terhadap kaum perempuan ini terjadi dimana-mana. Banyak aturan pemerintah, aturan keagamaan, kebudayaan dan kebiasaan mayarakatyang dikembangkan karena stereotype ini.
-          Gender dan Kekerasan
Kekerasan (violance) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritasmental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia ini berasal dari berbagai sumber, namun kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan gender. Kekerrasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut “Geder-related violence”. Kekerasan gender pada dasarnya disebabkan oleh ketidak setaraan kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Berbagai macam dan bentuk kejahatanyang bisa dikategorikan kekerasan gender diantaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk di dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang memaksa untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidakrelaan ini seringkali tidak bisa terekspresikan disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya ketakutan, malu, keterpaksaan baik ekonomi, sosial maupun kultural, tidak ada pilihan lain.
Kedua, aksi pemukulan dan serangan non fisik yang terjadi dalam rumah tangga (Domestic violance). Termasuk tindak kekerasan berupa penyiksaan terhadap adank-anak (child abuse).
Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah pada pada organ alat kelamin, (genital mutilation) misalnya penyunatan terhadap anak perempuan. Berbagai alasan dilakukan oleh suatumasayarakat untuk melakukan penyunatan ini. Namun salah satu alasn terkuat adalah, adanya anggapan dan bias genderdi masyarakat, yakni untuk mengontrol kaum perempuan. Penyunatan perempuan pada saat ini sudah mulai jarang kita dengar.
Keempat, adalah prostitusi. Kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merukan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap masyarakat dan negara selalu menggunakan standar ganda terhadapa pekerjaan sex ini. Yang pertama pemerintah melarang dan meangkapi mereka, tetapi di lain pihak negara juga menarik pajak dari mereka. Sementara seorang pelacur dianggap rendah oleh masyarakat, namun tempat konsentrasi mereka selalu ramai dikunjungi.
Kelima, kekerasana dalam bentuk pornografi. Pornografi adalah jenis kekrasan lain terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan non fisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan sesorang.
Fakih, Mansour.1995. Menggerser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal: 11-18

Apakah Gender Itu?

Sejak sepuluh tahun terakhir kata ‘gender’ telah memasuki perbendaharaan di setiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial dan pembangunan di Dunia Ketiga. Demikian halnya di Indonesia, hampir semua uraian tentang program pengembangan masyarakat maupun pembangunan di kalangan organisasi non pemetintah diperbincangkan maslah gender. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender itu? Dari pengamatan masih terjadi ketidak jelasan, kesalah pahaman mengenai apa yang dimaksud dengan konsep gender dan kaitannya dengan usaha emansipasi kaum perempuan. Paling tidak ada beberapa penyeban terjadinya ketidak jelasan tersebut. Karena tidak ada kata gender dalam bahasa Indonesia . Kata gender dalam bahasa Indonesia meminjam dari bahasa Inggris. Dari bahasa Inggis kalau dilihat dalam kamus, tidak secara jelas membedakan sex (jenis kelamin) dan gender. Sementara itu belum ada uraian yang mampu menjelaskan secara dingkat dan jelas mengenai konsep gender dan mengapa konsep tersebut penting untuk memahami sistem ketidak adilan sosial. Dengan kata lain timbulnya ketidak jelasan itu disebabkan kurangnya penjelasan mengenai kaitan antara konsep gender dengan persoalan ketidak adilan lainnya.
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan jenis kelamin (sex). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya bahwa manusia jenis kelamin lelaki adalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut: Bahwa kaum lelaki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memproduksi sperma. Sedangkan kaum perempuan memilik alat rreproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki alat vagina dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia lelaki dan perempuaan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologi atau sering dikatakan ketentuan Tuhan atau kodrat.
Sementara itu konsep lain yang berbeda dari jenis kelamin (sex) adalah konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal: lemah lembut, cantik, emosional, keibuan. Sementara lelaki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Ada beberapa karakter dari sifat tersebut, yakni sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada lelaki yang emosional, lemah lembut, keibuan sementara ada juga perempuan yang kuat rasional dan perkasa. Kedua, perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Misalnya saja zamn dahulu di suatu suku tertentu perempuan lebih kuat dari lelaki, tetapi pada zamn yang lain dan di tempat yang berbedalelaki lebih kuat. Ketiga, adalah dari kelas ke kelas masyarakat yang lain juga berbeda. Pada perempuan kelas bawah di pedesaan pada suku tertentu lebih kuat dibandingkan kaum lelaki. Semua yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan lelaki, berubah dari waktu ke waktuserta berbeda dari tempat ke tempat lain, serta berbeda dari satu kelas ke kelas yang lain itulah yang dikenal dengan konsep gender.
Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial, kultural melalui ajaran keagamaan bahkan oleh negara. Melaui proses panjang sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan – seolah olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, kodrat laki-laki dan kodrat perempuan dipahami sebagai perbedaan gender. Misalnya sifat lemah lembut, sifat memelihara dan sifat emosionalyang dimiliki oleh kaum perempuan dikatakan sebagai kodrat kaum perempuan.
Sebaliknya konstruksi sosial tentang gender dengan dialektika akhirnya tersosialisasikan dengan evolisional dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis mesing-masing jenis kelamin. Misalnya, karena konstruksi gender kaum lelaki harus bersifat kuat dan agresif, maka melalui konstruksi sosial seperti itu, kaum lelaki kemudian terlatih dan tersosialisasikan serta termotivasi untuk menjadi atau menuju ke sifat gender yang ditentukan suatu masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan lebih besar. Sebaliknya, karena konstruksi sosial kaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialisasi tersebut mempengaruhi tidak saja pada perkembangan emosi dan visi serta ideologi kaum perempuan, namun secara fisik dan biologis mempengaruhi perkembangan berikutnya. Karena proses sosialisasi dan rekonstruksi yang berjalan secara mapan dan lama, akhirnya menjadi sulit lagi dibedakan apakah sifat-sifat gender seperti kaum perempuan lemah lembut dan kaum laki-laki kuat perkasa itu dikonstruksi atau dibentuk oleh masyarakat atau suatu kodrat biologis yang ditetapkan oleh Tuhan. Dengan menggunakan pedoman bahwa setiap sifat biasanya melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat-sifat tersebut bisa dtukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat, dan sama sekali bukanlah kodrat.
Setelah jelas berbeda antara sex dengan gender dari uraian tersebut, dapat diajukan pertanyaan mengapa perbedaan jenis kelamin (sex) harus melahirkan perbedaan gender (gender differences)? Apa masalah yang timbul dari perbedaan gender tersebut? Dengan kata lain, kalau perbedaan kaum perempuan dan laki-laki dapat dibedakan dari perbedaan gender – bahwa kaum perempuan itu tidak rasional, emosional, lemah lembut, bahwa kaum lelaki memiliki sifat gender yang rasional. Lantas dimanakah letak masalahnya?

Sumber:


Fakih, Mansour.1995. Menggerser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal: 7-11