Orang
mengatakan bahwa filsafat ‘tidak membuat roti’. Ucapan ini sepenuhnya benar. Filsafat
tidak memberi petunjuk-petunjuk untuk mencapai taraf hidup yang lebih tinggi,
juga tidak melukiskan teknik-teknik baru untuk membuat bom atom. Sebenarnya jika
di dalam filsafat anda mencari jawaban yang terakhir terhadap persoalan yang
anda hadapi, yakni jawaban yang disepakati oleh semua filsuf sebagai hal yang benar, maka anda akan kecewa
dan bersedih hati. Setelah lama mempelajarinya, anda dapat mulai menyusun suatu
sistem filsafat yang di dalamnya anda dapat menempatkan persoaln-persoalan yang
anda hadapi dan memberikan jawaban-jawaban yang kiranya sah.
Anda pun
juga menjadi terbiasa mengadakan penalaran-penalaran secara tetap, dan
memurnikan pikiran-pikiran secara tetap pula, sehingga anda akan siap mendapati
bahwa penyelesaian anda sering tidak memadai dan bersifat sementara, serta
tidak diterima oleh banyak orang.
Filsafat membawa kita kepada
pemahaman dan tindakan.
Meskipun filsafat ‘tidak membuat roti’, namun filsafat dapat menyiapkan
tungkunya, menyisihkan noda-noda dari tepungnya, menambah jumlah bumbunya
secara layak dan mengangkat roti itu dari tungku pada waktu yang tepat. Secara sederhana
hal ini berarti bahwa tujuan filsafat adalah menumpulkan pengetahuan manusia
sebanyak mungkin, dan menertibkan serta mengatur semua itu di dalam bentuk yang
sistematis. Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan pemahaman membawa kita
kepada tindakan yang lebih layak.
Saya akan
memberikan gambaran dengan sebuah contoh klasik. Lama berselang pada tahun 399 SM,
Socrates dihukum mati atas tuduhan merusak jiwa kaum muda di Athena. Ia harus
mati dengan meminum racun pada suatu hari tertentu. Tetapi socrates mempunyai
banyak teman kaya-raya yang mengambil keputusan bahwa, karena menurut hemat
merekaSocrates dihukum secara salah, maka mereka akan membantunya untuk
melarikan diri. Merekapun bersedia menyuap pengawal penjara dan membujuk
Socrates agar melarikan diri.
Bagi manusia
praktis, pastilah ia akan
berkeinginan untuk meninggalkan penjara secepat mungkin.tetapi tidak demikian
halnya dengan Socrates. Kepada kawan-kawannya ia berkata bahwa sebelum ia mau
menerima tawaran mereka, perlu ditentukan terlebih dahulu apahak perbuatan
melarikan diri itu layak baginya. Nah, inilah ucapan seorang filsuf. Ia duduk
dengan teman-temannya untuk membicarakan masalah itu. Secara hati-hati diajukan
alasan-alasan bagi pelarian dirinya. Dengan sikap hati-hati yang sama, Socrates
meneliti alasan-alasan tersebut dan mengajukan alasan-alasan lain yang tidak
menyetujui ia melarikan diri.
Akhirnya,
teman-temannya sepakat bahwa tidaklah tepat bagi Socrates untuk melarikan diri.
Pada saat itulah pembicaraan kefilsafatan berakhir. Socrates bertindak. Tindakannya
didasarkan atas pemikirannya, tetapi tindakan itu tidak merupakan bagian dari
pemikiran tersebut. Socrates tetap tinggal di penjara, dan ia pun . . . meminum
racun.
Keinginan kefilsafatan ialah
pemikiran secara ketat.
Contoh diatas menunjukkan bahwa filsafat berbeda sama sekali dengan membuat
roti. Filsafat merupakan suatu analisa secara hati-hati terhadap
penalran-penalaran mengenai suatu masalah, dan penyusunan secara sengajaserta
sistematis atas suatu sudut pandang yang menjadi dasar suatu tindakan. Dan hendaknya
diingat bahwa kegiatan yang kita namakan kegiatan kefilsafatan itu sesungguhnya
merupakan perenungan atau pemikiran.
Pemikiran jenis
ini berupa meragukan segala sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan
gagasan yang satu dengan lainnya, menanyakan “mengapa”, mencari jawaban yang
lebih baik dibandingkan dengan jawaban yang tersedia pada pandangan pertama. Filsafat
sebagi perenungan mengusahakan ‘kejelasan’, ‘keruntutan’ dan ‘keadaan memadai’
dan ‘pemahaman’ tersebut?
Sejumlah makna khusus yang
dikandung istilah ‘filsafat’.
Sebelum mencoba menjelakan makna-makna yang dikandung istilah-istilah tadi,
marilah kita tinjau beberapa pengertian lainyang dikandung filsafat. Pada suatu
hari ketika mengunjungi seorang dokter, saya harus menunggu karena dokter
tersebut sedang merawat pasien lain yang kehilangan penglihatan. Beberapa saat
kemudian saya berkata pada dokter tadi, “Saya kira saya tidak akan dapat
menjadi dokter yang baik, karena orang sakit membuat saya merasa sedih dan
gundah.” Dokter itu tersenyum dan menjawab, “Sudahlah, anda ini seorang filsuf,
seharusnya anda memandang segala sesuatu secara kefilsafatan.”
Ucapan ini
mempunyai makna yang sama dengan apa yang dikandung oleh ucapan seseorang yang
berkata, “Pandanglah nasib malang itu secara kefilsafatan.” Orang yang
berbicara demikian itu memiliki maksud bahwa seharusnya anda tidak
memprihatinkan sesuatu, malinkan terimalah sesuatu secara biasa. Dengan makna
yang sama, orang sering mengatakan, “Seribu tahun yang akan datang, siapakah
yang akan memperhatikan: apakah anda membaca atau tidak membaca halamn-halamn
buku ini?” Dari sini ada tiga hal yang bisa ditunjukkannya:
- Sikap acuh tak acuh;
- Menekan perasaan;
- Ketiadaan sifat penting.
Seorang
filsuf dianggap sebagai orang yang memandang segala sesuatu ‘dari sudut keabadian’,
dan karenanya menemukan ketiadaan sifat pentingnya segala sesuatu; atau
dianggap sebagai orang yang memandang manusia sebagai sesuatu yang tidak berarti,
dan karenanya bersikap acuh tak acuh terhadap segala hal.
Maka ada
gambaran bahwa seorang filsuf merupakan ‘mesin yang berpikir’ tanpa suatu perasaan
apapun. Apa yang dilupakan ialah, bahwa mereka yang memandang seorang filsuf
dalam hubungan yang demikian ini – dan karenanya memandang filsafat sebagai
sesuatu yang membawa orang kepada sifat yang demikian itu – sesungguhnya tidaklah
berbicara tentang filsafat, melainkan tentang filsafat yang khusus. Ada filsafat
yang cenderung memuja akal. Ada sistem-sistem filsafat yang didasarkan pada
pandangan yang mengutamakan kehendak. Dan dewasa ini ada sistem filsafat yang
menegaskan bahwa pengetahuan yang mendalam dalam arti yang sebenarnya diperoleh
melalui perasaan. Dengan cara yang sama, banyak filsuf memberikan tekanan pada
ketiadaan sifat pentingnya manusia, tetapi para filsuf yang lain menegaskna
tentang keunggulan manusia. Nanti kit akan berkenalan dengan
penyelesaian-penyelesaian tersebut dan dapat melihat dimanakah letak kesalahan
penyelesaian-penyelesaian tadi.
Filsafat merupakan pemikiran
secara sistematis. Kegiatan
kefilsafatan adalah merenung. Tetapi merenung bukanlah melamun, juga bukan
berpikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan. Perenungan kefilsafatan ialah, percobaan ialah percobaan untuk menyusun
suatu sistem pengetahuan yang rasional, yang memadai untuk mamahami dunia
tempat kita hidup, maupun untuk memahami diri kita sendiri. Perenungan
kefilsafatan dapat merupakan karya karya satu orang yang dikerjakannya sendiri,
ketika ia dengan pikirannya berusaha keras menemukan alasa dan penjelasan
dengan cara semacam bertanya kepada diri sendiri. Atau perenungan itu dapat
pula dilakukan oleh dua atau lebih dari dalam suatu percakapan ketika mereka
melakukan analisa, melakukan kritik dan menghubungkan pikiran mereka secara
timbal balik.
Biarpun
sebagian besar sistem-sistem filsafat yang besar, misalnya sistem filsafat
Aristoteles yang hidup pada abad IV SM atau sistem Hegel (1770-1831), merupakan
karya-karya perseorangan, namun sistem-sistem tersebut menunjukkan adanya
saling pertukaran yang ajek dengan
pikiran serta kritik orang lain. Sesungguhnya tidak ada filsafat yang disusun
dari ketiadaan dan tanpa hal-hal yang mendahuluinya yang telah dipelajarinya,
dan oleh rekan-rekan semasa hidupnya yang mengajukan kritik terhadapnya. Sejumlah
karya kefilsafatan yang besar tertulis sebagi dialog, yakni dalam bentuk percakapan di antara dua orang atau
lebih \, yang memiliki penyelesaian-penyelesaian yang berupa alternatif, dan
yang dengan pembicaraan secara rasional berusaha memperoleh kesimpulan yang
memuaskan. Contoh-contoh karya semacam itu ialah dialog-dialog yang ditulis
oleh Plato, sang tkoh abadi (427-347
SM), dan lama kemudian sejumlah karya filsuf Britania yang termasyhur, Uskup
Berkeley (1685-1753).
Perenungan
kefilsafatan ialah sejenis percakapan yang dilakukan dengan diri sendiri atau dengan
orang lain. Itulah sebabnya, mengapa seorang filsuf tampak selalu berhubungan
dengan polemik, dan tampak lebih menaruh perhatian kepada usaha merusak dan
menentang dibandingkan dengan usaha membangun. Dalam arti tertentuperenungan
kefilsafatan dapat dipandang sebagai pertentangan diantara
alternatif-alternatif yang masing-masing berpegangan pada unsur atau segi yang
penting dan kemudian mencoba untuk mengujinya pada pengalaman, kenyataan
empirik, dan akal. Halini mudah ditunjukkan dalam masalah filsafat pengetahuan.
Ada yang
berpendirian bahwa pengetahuan diperoleh hanya melalui pengalaman, dan ada yang
berpendirian bahwa pengetahuan didapat hanya melalui akal. Yang terdahulu
disebut ‘pengikut empiris’, yang terakhir dinamakan ‘pengikut rasionalisme’. Kedua
pendirian ini dapat diuraikan sampai tercapai suatu sintetas. Soalnya ialah,
uraian-uraian itu berusaha menyingkirkan kesalahan-kesalahan dan hal-hal yang
tidak runtut, dengan maksud agar tercapai penyelesaian-penyelesaian yang lebih
memadai.
Banyak filsuf
sudah puas dengan sekedar mengejakan karya-karya rintisan bagi orang lain. Mereka
sudah puas dengan menunjukkan kesalahan-kesalahan dan hal-hal yang tidak
runtut, dan menyerahkan pekerjaan untuk menciptakan sistem-sitem, seperti Hegel,
kepada orang lain. Sebenarnya, memang lebih mudah untuk bersikap destruktif
secara kritis, ketimbang bersikap kenstruktif secara koheren.
Pengantar
Filsafat (halaman 3-7)
Lousi
A. Kattsoff
Penerjemah:
Soejono Soemargono
Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya
2004,
Cet. IX