Siapa sangka, gadis lugu usia 12 tahun yang baru saja lulus Madrasah Ibtida'iyah itu harus melanjutkan studinya di sebuah pondok pesantren. Memang bukan sebuah pondok modern yang besar atau pun pesantren salafi yang moderat, pesantren itu hanyalah bangunan sederhana yang dan sudah tua. Luas lahan yang tidak sampai satu hektar (begitulah kata sang kiyai) dan bangunan asrama putra dan putri yang hanya terpisah oleh gedung sekolah. Tak ada bangunan bertingkat di sekolah itu, yang ada hanyalah lapangan di tengah dan bagunan - jika disebut gedung akan terlalu megah - sekolah yang membentuk huruf U.
Gadis itu hanya berfikir bahwa begitu ia lulus dari MI yang telah lama dinaunginya, ia akan melanjutkan studinya di sekolah negeri di sekitar rumah. Danem yang ia dapatkan pun tidak buruk, bahkan jika ia mendaftarkan diri di sekolah bergengsi di kota itu, maka ia akan masuk di salah satu sekolah unggulan disana. Yahh.. itulah prediksi, ia tak menolak dan juga tidak marah ketika orangtuanya memintanya untuk melanjutkan studi di luar kota, tepatnya di sebuah pondok pesantren.
Hari-hari pertamanya, ia tinggal di rumah sang kiayi, karena istri dari kiyai itu masih ada hubungan famili dengannya. Namun hal itu tidak membuat ia menjadi sombong, terkadang ia turut serta membantu menjaga toko dan juga bergaul dengan teman-temannya di sekolah maupun di pesantren. Mungkin karena orang tuanya yang masih terlalu khawatir sehingga gadis kecil ini dititipkan di rumah saudaranya dan tidak langsung tinggal di asrama. Padahal ia sudah terdaftar pada sebuah kamar yang bernama Mashitoh, nama seorang tokoh muslimah pada zaman fir'aun. Ia hanya menurut saja apa kata ibunya yang memilihkan kamar itu.
Kamar Masyitoh termasuk salah satu kamar favorit pada saat itu sehingga penghuninya membludak. Ia bukanlah satu-satunya murid baru disana, ada santriwati 5 lain yang juga masih bertitel "tholibah jadidah" disana. Dua diantaranya baru lulus SMP dan tiga yang lain seumuran dengan gadis itu. Salah dari mereka adalah sepupunya, ia juga masih memiliki hubungan saudara dengan kiyai, malah lebih dekat dibandingkan dengan gdis kecil itu.
Suatu hari, gadis itu dan sepupunya ingin bergaul lebih dekat dengan teman-teman di kamar dan di pondoknya, sehingga mereka memutuskan untuk tidak lagi tidur di rumah pak yai. Karena ukuran kamar yang tak lebih dari 4m x 4m dan penghuninya lebih dari 13 orang, maka harus ada beberapa orang yang rela untuk dipindahkan - bahasa kasar mereka dulu digusur - dalam waktu dekat. Ukhti roisah ghurfah dan wakilnya pun cukup dilema, karena ia harus merelakan beberapa anaknya untuk pindah. Hal itu dapat dipahami, karena roisa ghurfah tidak hanya bertugas untuk memimpin dan mengelola kamar itu dengan baik, melainkan ia juga wajib bertanggung jawab, membimbing serta mendampingi anggota kamar layaknya seorang ibu.
Ada derai airmata disana, karena tak ada seorang pun yang mau pindah. Gadis kecil itu hanyalah anak lugu yang ketika ditawari roisah ghurfah untuk pindah kamar hanya menjawab "kata ibu ana ndak usah pindah ukhti" tanpa tau betapa pusingnya sang ketua kamar. Akhirnya dengan terpaksa salah satu santri jadid dan juga beberapa santri qodim pun harus rela keluar. Sedangkan gadis itu tetap tinggal disana sambil menikmati perjalan hidupnya tanpa ia tahu apa yang akan terjadi padanya esok, lusa dan hari-hari berikutnya.
-------bersambung------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar